Beberapa bulan kembali ngantor, tapi nglirik rekening gaji masih minus itu rasanya mulesi😁. Gimana enggak, kebutuhan kembali ke “markas” dan rutin bulanan sudah menanti, tapi birokrasi tetaplah harus ditaati.
Perjalanan surat penempatan kerja gw sebagai karyawan harus melewati jalur panjang dan (cukup) lama. Yah, itulah birokrasi. Jalan tengahnya ya harus “fasten your seatbelt” sampai bendahara kantor bisa mengabarkan bahwa sekarang kulit manggis ada ekstraknya.
Penghiburan dari beberapa teman yang menyarankan gw untuk bersabar, dan harapan bahwa sesuatu akan indah pada waktunya merupakan gizi cukup ampuh buat otak gw mengatur mindset.
Yep, mindset sebagai seseorang tanpa penghasilan, akan berdampak besar dalam proses membelanjakan uang yang sumbernya sekarang hanya dari transferan. Walaupun sempat beberapa kali terjadi miscalculation karena kebutuhan Lebaran yang tidak toleran. Bokek book.
Penghiburan lain, dari seorang teman, bahwa kalo sekarang belom gajian, berarti suatu saat akan rapelan. Kalkulatorpun berjalan, menghitung pundi-pundi uang.
Gw bilang, jangan gitu Sayang. Matikan kalkulator itu, kalau perlu, buang. Yah, sebagai seorang yang pernah merasa dikecewakan, gw takut dalam hal menghitung uang.
Takut bila ternyata gak sesuai harapan, takut bila ternyata banyak potongan, dan takut kenyataan, halah..
(Ahh, udah cukup berimanya, susah ternyata..)
Yeah, itulah yang terjadi selama beberapa bulan ini. Bokek berat karena belum gajian, tapi kadang mindset masih pegawe kantoran. Wich is kadang makan siang masih pingin yang enak dan mahal, liat olshop fashion langsung jelalatan.
Mindset gw yang salah, karena dalam lubuk hati terdalam masih tersimpan harapan rapelan dengan angka sekian-sekian, seharusnya bisa ditepiskan. Mindset itu kadang bikin gw berasa matre karena kerja cuma ngarep bayaran. Walaupun itu 99,99% benar.
Padahal ya, gw sering ngomongin junior magang di kantor gw, bahwa jangan sampe mereka udah ngitung rapelan. Selain ora elok, hal itu bisa bikin mereka membayangkan hal-hal yang cenderung konsumtif, bukan produktif. Ya iyalah, belum nerima duitnya, tapi udah rencana mo beli apa-apa.
Baiklah, berencana itu boleh. Cermat berhitung itu juga harus. Namun, ada hal lain yang juga harus diingat. Resiko dan biaya. Dalam ilmu hitung ramal meramal, dua faktor ini mempunyai andil. Ada yang besar, dan ada yang kecil, sesuka kita ajalah. Yang jelas, dua hal ini tak patut disingkirkan.
Gw kasih contoh aja, grade penghasilan gw ternyata diturunkan setelah kembali dari cuti, itu resiko. SK penempatan gw ternyata tak berlaku surut, dan akibatnya, dua bulan gw ngantor -sebelum SK tersebut terbit-pun gak dibayar, dan gw terima hal tersebut sebagai resiko.
Sebenernya ada beberapa jalur untuk meminimkan resiko, dengan mengikuti peraturan yang sudah dibuat. Karena pada dasarnya, peraturan merupakan guidance kita melaksanakan sesuatu.
Seperti dalam kasus gw, mengajukan surat pengaktifan pegawai sebelum cuti berakhir, sehingga proses birokrasi pengaktifan pegawai itu sudah selesai ketika gw balik ngantor. Karena beberapa hal, memang gw terlambat mengajukan surat tersebut ke kantor, ya wes itu salah gw dong.
Yang kedua, karena peraturan penurunan grade penghasilan itu memang sudah tertulis dalam kitab kepegawaian, maka sudah sepatutnya gw legowo menerima keputusan penyunatan tunjangan penghasilan.
Nah, sudah ada yang mau bantu bikin posko koin bantuan gak?